Sumber pos :http://hizbut-tahrir.or.id/2008/11/29/penentuan-awal-bulan-kamariah-persepektif-hizbut-tahrir-indonesia/
Di
tengah umat Islam sering terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan
kamariah. Pada gilirannya ini mengakibatkan perbedaan umat dalam
mengawali puasa Ramadhan, beridul Fitri, dan beridul Adha. Perbedaan
tersebut dapat terjadi dalam lingkup lokal, nasional, maupun
internasional, dan selisihnya kadang tidak hanya satu hari, tapi bahkan
dapat sampai tiga-empat hari.[1]
Kondisi ini tentu amat memprihatinkan. Sebab
puasa Ramadhan dan Idul Fitri/ Idul Adha sesungguhnya bukan sekedar
fenomena ibadah ritual, melainkan juga fenomena syiar persatuan umat.
Umat Islam yang sesungguhnya umat yang satu (ummatan wahidah) –termasuk dalam hal mengawali puasa dan berhari raya– akhirnya nampak tercerai berai, terpecah belah, dan tidak kompak.[2]
Namun alhamdulillah,
kesadaran umat Islam untuk bersatu dalam hal penentuan awal bulan
kamariah ini cukup menggembirakan. Berbagai upaya telah dilakukan dan
berbagai buku telah ditulis, yang penuh dengan semangat persatuan umat.[3] Berbagai diskusi dan seminar diadakan dalam rangka menumbuhkan sikap saling memahami (tafahum) antar elemen umat Islam, sebagai modal menuju persatuan umat.
Dalam kerangka tafahum
itulah, tulisan ini bertujuan memaparkan bagaimana penentuan awal bulan
kamariyah menurut pandangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Secara lebih
rinci, tulisan ini mempunyai 3 (tiga) tujuan sebagai berikut :
Pertama, menjelaskan metode HTI dalam penentuan awal bulan kamariyah, yaitu rukyatul hilal global.
Kedua, menjelaskan sikap HTI terhadap hisab (al-hisab al-falaki) yang digunakan dalam penentuan awal bulan kamariyah.
Ketiga, menjelaskan sikap HTI mengenai keharusan adanya institusi politik pemersatu umat (al-khilafah) untuk menyatukan umat secara global.
Rukyatul Hilal Global
HTI
memandang bahwa penentuan awal bulan kamariyah (kalender hijriyah)
hanya dilakukan dengan rukyatul hilal dari suatu tempat di muka bumi,
baik itu dilakukan dengan mata telanjang (bil ‘ain al-bashariyah)
maupun dengan alat pembesar dan pendekat, semisal teropong atau
teleskop. Dengan perkataan lain, HTI memandang bahwa penentuan awal
bulan kamariyah tidak dapat didasarkan pada hisab (al-hisab al-falaki). [4]
Dalam sebuah nasyrah
(selebaran/leaflet), tertanggal 25 Sya’ban 1419 H (14 Desember 1998)
Hizbut Tahrir menegaskan sikap resminya tersebut dengan menyatakan :
والرؤية
المعتبرة هي الرؤية البصرية، ولا اعتبار للحسابات الفلكية إذا لم تثبت
الرؤية بالعين البصرية، إذ لا قيمة شرعية للحسابات الفلكية في إثبات الصوم
والإفطار، لأنّ السبب الشرعي للصوم أو الإفطار هو رؤية الهلال بالعين…
“Rukyat
yang sah (mu’tabar) adalah rukyat dengan mata; hisab tidak dapat
dijadikan dasar jika rukyat tidak terbukti dengan mata. Karena hisab
tidak memiliki nilai secara syar’i dalam menetapkan puasa dan berbuka
[berhari raya]. Hal ini dikarenakan sebab syar’i untuk berpuasa dan
berhari raya tiada lain adalah rukyatul hilal bil ‘ain (melihat bulan
sabit dengan mata)…”[5]
Mengapa HTI berpegang pada rukyatul hilal, dan bukan hisab? Karena, menurut HTI sebab syar’i (as-sabab asy-syar’i) [6] untuk berpuasa dan berhari raya tiada lain adalah rukyatul hilal bil ‘ain (melihat bulan sabit dengan mata)[7], sesuai hadits-hadits Nabi SAW. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah kamu karena melihat dia [hilal] dan berbukalah kamu karena melihat dia [hilal].” (HR Bukhari no 1776; Muslim no 1809; At-Tirmidzi no 624; An-Nasa`i no 2087).
Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda :
إذا رأيتموه فصوموا، وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن غُمَّ عليكم فاقدروا له
“Jika
kamu melihat dia (hilal) maka berpuasalah kamu, dan jika kamu melihat
dia (hilal) maka berbukalah, jika pandangan kamu terhalang mendung maka
perkirakanlah.”[8] (HR Bukhari no 1767; Muslim no 1799; An-Nasa`i no 2094; Ahmad no 7526).
Hadits-hadits di atas mempunyai pengertian yang jelas (sharihah ad-dalalah), bahwa sebab syar’i untuk puasa Ramadhan dan Idul Fitri tiada lain adalah rukyatul hilal.[9]
Dan
rukyatul hilal yang dimaksud, dalam pandangan HTI, bukanlah rukyat
lokal yang berlaku untuk satu mathla’ (mazhab Syafi’i), melainkan rukyat
yang berlaku secara global, dalam arti rukyatul hilal di salah satu
negeri muslim berlaku untuk kaum muslimin di negeri-negeri lain di
seluruh dunia. (mazhab jumhur, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, dan
Hambali).[10]
Hizbut Tahrir dalam masalah ini menegaskan :
وخطاب
الشارع في هذه الأحاديث موجه إلى جميع المسلمين لا فرق بين شامي وحجازي
ولا بين إندونيسي وعراقي، فألفاظ الأحاديث جاءت عامّة، لأن ضمير الجماعة
في: (صوموا… وأفطروا) يدلّ على عموم المسلمين، وكذلك لفظ: (رؤيته) فهو اسم
جنس مضاف إلى ضمير، يدلّ على رؤية الهلال من أي إنسان…
“Seruan
Pembuat Hukum dalam hadits-hadits ini [seperti dua hadits di atas]
diarahkan kepada seluruh kaum muslimin, tidak ada bedanya antara orang
Syam dengan orang Hijaz, antara orang Indonesia dengan orang Irak. Sebab
lafaz-lafazh hadits tersebut datang dalam bentuk umum, karena kata
ganti untuk orang banyak (dhamir jama’, yakni wawu) pada hadits
“shuumuu… wa afthiruu” menunjukkan umumnya kaum muslimin. Demikian pula
lafazh “ru`yatihi” adalah isim jenis yang diidhafatkan kepada dhamir
(kata ganti), menunjukkan rukyatul hilal dari manusia siapa pun juga
dia…”[11]
Pandangan HTI ini sejalan dengan pentarjihan Imam Syaukani dalam persoalan ikhtilaful mathali’ (perbedaan mathla’), di mana Imam Syaukani menguatkan pendapat jumhur dengan berkata :
والأمر
الوارد في حديث ابن عمر، لا يختص بأهل ناحية على جهة الانفراد، بل هو خطاب
لكل من يصلح له من المسلمين، فالاستدلال به على لزوم رؤية أهل بلد لغيرهم
من أهل البلاد، أظهر من الاستدلال به على عدم اللزوم؛ لأنه إذا رآه أهل
بلد، فقد رآه المسلمون، فيلزم غيرهم ما لزمهم.
“Perintah
yang terdapat dalam hadits Ibnu Umar [idza ra`iytumuuhu…] tidaklah
dikhususkan untuk penduduk satu daerah secara terpisah, melainkan
merupakan khithab (perintah/seruan) bagi siapa saja yang layak menerima
khithab itu dari kaum muslimin. Maka beristidlal dengan hadits ini untuk
mengharuskan pemberlakuan rukyat kepada penduduk negeri yang lain,
adalah lebih kuat daripada beristidlal dengan hadits ini untuk tidak
mengharuskannya. Sebabnya adalah jika penduduk suatu negeri telah
melihat hilal, berarti kaum muslimin telah melihatnya, maka berlakulah
rukyat bagi kaum muslimin apa yang berlaku bagi penduduk suatu negeri
itu.” [12]
Setelah
mengutip tarjih Imam Syaukani di atas, Wahbah Az-Zuhaili pun menguatkan
pemberlakuan rukyat global (pendapat jumhur) sebagai berikut :
وهذا الرأي (رأي
الجمهور) هو الراجح لدي توحيداً للعبادة بين المسلمين، ومنعاً من الاختلاف
غير المقبول في عصرنا، ولأن إيجاب الصوم معلق بالرؤية، دون تفرقة بين
الأقطار.
“Pendapat
ini (yaitu pendapat jumhur) adalah lebih kuat (rajih) menurut saya,
karena akan dapat menyatukan ibadah di antara kaum muslimin, dan akan
dapat mencegah adanya perbedaan yang tidak dapat diterima lagi pada
jaman kita sekarang. Dan juga dikarenakan kewajiban shaum terkait dengan rukyat, tanpa membeda-bedakan lagi negeri-negeri yang ada.” [13]
Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, di Mesir tahun 1966 M juga telah mengeluarkan keputusan sebagai berikut:
لا عبرة باختلاف المطالع ولو تباعدت الأقاليم بشرط أن تكون مشتركة في ليلة واحدة، وهذا ينطبق على البلاد العربية كلها
“Pandangan
yang menyatakan tentang adanya perbedaan mathla’ itu tidak bisa
digunakan, sekalipun wilayahnya berjauhan, dengan syarat wilayah-wilayah
tersebut malamnya sama. Dan, ini berlaku untuk seluruh negeri Arab.”
Majelis
Fatwa al-A’la di Palestina juga mengeluarkan keputusan yang menguatkan
diadopsinya pandangan tentang kesatuan mathla’ tersebut.[14]
Dengan demikian, HTI tidak dapat menerima rukyat lokal (mazhab Syafii) yang berpegang pada mathla’, yaitu daerah geografis keberlakuan rukyat.[15]
Menurut mazhab Syafii, jika terbukti ada rukyat di suatu negeri, rukyat
ini hanya berlaku untuk daerah-daerah yang dekat, yaitu yang masih satu
mathla`, dengan kriteria satu mathla` adalah jarak 24 farsakh atau daerah sejauh 133 km. Sedangkan negeri-negeri yang jauh (di atas 133 km), tidak terikat dengan rukyat yang terbukti di negeri tersebut.[16]
Pendapat
mazhab Syafii tersebut didasarkan pada hadits Kuraib, yang menjelaskan
bahwa Ibnu Abbas di Madinah tidak berpegang dengan rukyat Muawiyah di
Syam. Haditsnya sebagai berikut:
أن
أم الفضل بعثته إلى معاوية بالشام، فقال: فقدمتُ الشام، فقضيت حاجتها،
واستُهلَّ علي رمضان ُ وأنا بالشام، فرأيت الهلال ليلة الجمعة، ثم قدمتُ
المدينة في
آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس، ثم ذكر الهلال، فقال: متى رأيتم
الهلال؟ فقلت: رأيناه ليلة الجمعة، فقال: أنت رأيتَه؟ فقلت: نعم، ورآه
الناس وصاموا، وصام معاوية، فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم
حتى نُكْمِل ثلاثين أو نراه، فقلت: ألا نكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال:
لا، هكذا أمَرَنا رسول الله صلّى الله عليه وسلم
“Bahwa Ummu Fadhl telah mengutus dia (Kuraib) kepada Muawiyah di Sam. Dia
berkata,’Maka aku tiba di Syam dan menyesaikan kebutuhan Ummu Fadhl.
Ramadhan tiba dan saya ada di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat.
Kemudian saya tiba di Madinah pada akhir bulan Ramadhan, lalu Ibnu Abbas
bertanya kepadaku, lalu dia menyebut persoalan hilal. Dia bertanya,
‘Kapan kamu melihat hilal?’ Saya jawab, ‘Kami melihatnya malam Jumat.’
Dia bertanya,’Kamu melihatnya sendiri?’. Saya jawab,’Ya. Orang-orang
juga melihatnya lalu mereka berpuasa dan berpuasa juga Muawiyah.’ Ibnu
Abbas berkata,’Tapi kami melihatnya malam Sabtu. Maka kami tetap
berpuasa hingga kami sempurnakan 30 hari atau hingga kami melihat
hilal.’ Saya berkata,’Tidakkah kita mencukupkan diri dengan rukyat dan
puasanya Muawiyah?’ Ibnu Abbas menjawab,’Tidak, demikianlah Rasulullah
SAW memerintahkan kita.” (HR Jamaah, kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).
Menurut mazhab Syafii, Ibnu Abbas RA yang mengikuti rukyat Madinah dan tidak mengikuti rukyat Syam, yaitu dengan perkataannya “‘Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita”
menjadi dalil bahwa setiap negeri mempunyai rukyat sendiri-sendiri, dan
rukyat suatu negeri tidak berlaku untuk negeri yang lain, li ikhtilaf mathali (karena ada perbedaan mathla’).
HTI tidak sependapat dengan pandangan tersebut. Sebab perkataan Ibnu Abbas tersebut (‘Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita”), bukanlah hadits marfu’ (dari Nabi SAW), melainkan ijtihad pribadi dari Ibnu Abbas, radhiyallahu ‘anhu.[17] Sedangkan ijtihad sahabat Nabi dalam pandangan HTI bukanlah dalil syar’i yang mu’tabar (sumber hukum yang bisa diterima), karena dalil syar’i yang mu’tabar dalam pandangan HTI hanyalah Al-Qur`an, As-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas.[18]
Jadi, kesimpulannya, HTI dalam penentuan awal bulan kamariah, berpegang
dengan rukyatul hilal global, bukan hisab, dan bukan rukyatul hilal
lokal.[19]
Namun
khusus untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah yang terkait dengan ibadah
haji dan Idul Adha, HTI memandang bahwa rukyatul hilal yang menjadi
patokan adalah rukyatul hilal penguasa Makkah, bukan rukyatul hilal dari
negeri-negeri Islam yang lain. Kecuali jika penguasa Makkah tidak
berhasil merukyat hilal, barulah rukyat dari negeri yang lain dapat
dijadikan patokan.
Dalilnya adalah hadits dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali, dia berkata :
أنَّ
أمِيرَ مَكَّةَ خَطَبَ ثُمَّ قال: عَهِدَ إلَيْنا رَسُولُ الله – صلى الله
عليه وسلم – أنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ، فإنْ لم نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا
عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا
“Bahwa
Amir (penguasa) Makkah berkhutbah kemudian dia berkata,”Rasulullah
telah menetapkan kepada kita agar kita menjalankan manasik berdasarkan
rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang
adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik
berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud, hadits no 2339. Imam Daruquthni berkata,”Hadits ini isnadnya muttashil dan shahih.” Lihat Sunan Ad-Daruquthni, 2/267. Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata,”Hadits ini shahih.” Lihat Al-Albani, Shahih Sunan Abu Dawud, 2/54).[20]
Lafazh hadits “an-nansuka” lebih tepat diartikan “kita menjalankan manasik haji”, bukan diartikan “an-nashuma” (kita berpuasa) sebagaimana pendapat sebagian pensyarah hadits. Memang lafazh “nusuk” berarti ibadah, sehingga mencakup di dalamnya puasa. Ibnul Atsir berkata dalam kitabnya Jami’ Al-Ushul, “Nusuk adalah ibadah, yang dimaksud di sini artinya adalah puasa.”[21] Namun terdapat hadits yang menjelaskan bahwa lafazh “nusuk” yang terkait rukyat, lebih tepat diartikan sebagai “menjalankan manasik”, bukan “berpuasa”. Dalilnya, adalah sabda Nabi SAW:
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا
وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah
kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, dan
laksanakan manasik kamu karena melihat hilal. Lalu jika pandanganmu
tertutup mendung, maka sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika ada dua
saksi yang bersaksi, maka berpuasalah dan berbukalah kamu.” (HR An-Nasa`i, no 2087).
Dalam hadits di atas terdapat lafazh “wa–nsukuu laa” (hendaklah kamu melakukan nusuk). Nusuk
di sini, jika diartikan shaum, tentu tidak tepat, karena akan terjadi
pengulangan yang tidak bermakna, mengingat di awal hadits sudah ada
perintah berpuasa berdasar rukyat. Jadi, lafazh nusuk (an nansuka li ar-ru`yah) dalam hadits Husain bin Al-Harits Al-Jadali di atas maknanya (wallahu a’lam) adalah “menjalankan manasik haji”, bukan “berpuasa.” [22]
Hadits
ini menjelaskan siapa yang mempunyai otoritas untuk menetapkan
hari-hari pelaksanaan manasik haji, seperti hari Arafah, hari Nahar
(Idul Adha), dan hari-hari tasyriq, yaitu Wali/Amir Makkah. Jadi
Rasulullah SAW tidak menyerahkan otoritas itu kepada penduduk di luar
Makkah, semisal penduduk Madinah, Najed, Bahrain, atau lainnya. Tapi
Rasulullah SAW hanya memberikan kewenangan itu kepada penguasa Makkah.
Pada saat tiadanya pemerintahan Islam (Khilafah) seperti sekarang, maka
kewenangan itu tetap dimiliki oleh penguasa Makkah sekarang (Saudi
Arabia), meski kekuasaannya tidak sesuai syariah Islam karena berbentuk
kerajaan, bukan Khilafah.[23]
Jelaslah,
bahwa menurut HTI, khusus untuk penetapan Idul Adha, rukyatul hilal
yang dipakai patokan umat Islam seluruh dunia adalah rukyatul hilal
penguasa Arab Saudi, bukan yang lain. Kemudian, sesuai hadits, jika
penguasa Makkah tidak berhasil merukyat, barulah rukyat dari
negeri-negeri yang lain dapat dijadikan patokan, selama terdapat dua
saksi yang adil yang mempersaksikan terbitnya hilal bulan Dzulhijjah.
Sikap Terhadap Hisab
HTI
memandang bahwa hisab tidaklah dapat digunakan untuk menetapkan awal
bulan kamariyah, khususnya dalam masalah ibadah shaum Raadhan, hari raya
Idul Fitri, dan Idul Adha. Setelah menjelaskan dalil-dalilnya, Syaikh
Atha bin Khalil (Amir Hizbut Tahrir sekarang) menegaskan:
نقول بعدم جواز الحسابات الفلكية في الصوم والفطر بل الرؤية فقط لأنها الواردة في النصوص
“Kami
berpendapat tidak boleh menggunakan hisab dalam shaum dan Idul
Fitri/Idul Adha, melainkan rukyatul hilal saja [yang dibolehkan], sebab
rukyat itulah yang terdapat dalam nash-nash.” [24]
Mengapa
HTI hanya menggunakan rukyatul hilal dan tidak menggunakan hisab? Sebab
dari pengkajian nash-nash yang ada, kita dituntut oleh Allah untuk
beribadah seperti yang dituntut oleh Allah sendiri. Jika kita beribadah
dengan cara yang tidak sesuai dengan tuntutan Allah, berarti kita salah,
meski kita menduga kita telah berbuat baik.
Dalam
hal ini, Allah telah menuntut kita untuk berpuasa dan berbuka (berhari
raya) berdasarkan rukyatul hilal, dan Allah SWT telah menjadikan
rukyatul hilal sebagai sebab syar’i bagi pelaksanaan shaum dan hari
raya. Rasulullah SAW bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah kamu karena melihat dia [hilal] dan berbukalah kamu karena melihat dia [hilal].” (HR Bukhari no 1776; Muslim no 1809; At-Tirmidzi no 624; An-Nasa`i no 2087).
Jika
misalnya kita tidak dapat melihat hilal Syawal karena tertutup awan,
maka kita menyempurnakan puasa sampai 30 hari, meski pun andaikata hilal
sebenarnya sudah wujud secara faktual. Syaikh Atha bin Khalil
menyatakan bahwa:
من
هذا يتبين أننا لا نصوم ونفطر لحقيقة الشهر بل لرؤية الهلال فإذا رأيناه
صمنا وإن لَم نره: لا نَصُمْ حتى وإن كان الشهر قد بدأ فعلاً بالحساب.
“Dari
sini jelaslah bahwa kita tidak berpuasa dan juga tidak berhari raya
karena hakikat bulan (syahr) itu sendiri, melainkan karena rukyatul
hilalnya. Maka jika kita melihat hilal, kita berpuasa. Jika tidak melihat hilal, kita tidak berpuasa hatta meskipun bulan (syahr) benar-benar telah mulai berdasarkan hisab.”[25]
Pendapat
HTI bahwa hisab tidak dapat dijadikan patokan penentuan awal bulan
kamariah ini adalah pendapat jumhur ulama, yakni jumhur ulama Hanafiyah,
Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah.[26]
Memang
ada pendapat sebagian ulama yang membolehkan hisab sebagai penentu awal
bulan kamariyah, seperti pendapat Muthrif bin Abdullah Asy-Syakhiir
(tabi’in), juga pendapat Ibnu Suraij (ulama mazhab Syafii), Ibnu
Qutaibah, Syaikh Muhyiddin Ibnul Arabiy, dan lain-lain.[27]
Dalil pendapat ini antara lain sabda Nabi SAW faqduruu lahu
(perkirakanlah hilal ketika tidak terlihat), artinya adalah
“perkirakanlah dengan ilmu hisab.” Sebab menurut Ibnu Suraij sebagaimana
dinukil oleh Ibnul Arabi, khithab tersebut adalah khusus untuk orang
yang menguasai ilmu ini (hisab). Sedang sabda Nabi “fa-akmilu al-iddah” (sempurnakanlah bilangan) adalah khithab umum bagi orang awam.[28]
Pendapat tersebut menurut HTI tidak tepat. Alasannya, sabda Nabi “perkirakanlah” (faqduruulah),
artinya yang tepat bukanlah “hitunglah dengan ilmu hisab”, melainkan
“sempurnakanlah bilangannya hingga 30 hari”. Memang hadits ini mujmal (bermakna global), sehingga dapat ditafsirkan seperti itu. Namun terdapat hadits lain yang mubayyan (mufassar), yakni bermakna terang/gamblang sehingga dapat menjelaskan maksud hadits yang mujmal. Maka yang mujmal (faqduruulah), hendaknya diartikan berdasarkan hadits yang mubayyan. Walhasil, hadits faqduruulah artinya adalah fa-akmiluu al-iddah (sempurnakanlah bilangan bulan), bukan fahsubuu (hisablah).[29]
Meskipun
tidak menggunakan hisab untuk penentuan awal bulan kamariah, namun HTI
berpendapat bahwa hisab dapat dipergunakan untuk keperluan ibadah
lainnya, seperti penentuan waktu shalat. Hal ini dikarenakan ada
perbedaan antara shaum dengan shalat. Jika shaum dikaitkan dengan
rukyatul hilal sebagai sebabnya, maka shalat dikaitkan dengan “masuknya
waktu” sebagai sebabnya, di mana “masuknya waktu” itu dapat dilaksanakan
dengan berbagai cara, seperti melihat bayangan benda atau dengan jalan
hisab.[30]
Perlu
ditambahkan pula, bahwa HTI tidak sepakat dengan paham yang menyatakan
bahwa hisab dapat dipakai secara terbatas, yakni hanya untuk menafikan
kesaksian adanya rukyatul hilal. Maksudnya, menurut paham ini, jika ada
laporan kesaksian rukyatul hilal yang bertentangan perhitungan hisab,
maka yang dipakai adalah hisab, bukan laporan rukyat. Sebab, menurut
paham ini, hisab adalah qath’i (pasti) sedangkan kesaksian adalah zhanni (dugaan).[31]
Pendapat ini tidak diterima oleh HTI, dengan beberapa argumen. Pertama,
kesaksian rukyatul hilal memang dapat ditolak, namun bukan ditolak
karena bertentangan dengan hisab, melainkan karena saksinya tidak
memenuhi syarat-syarat saksi, misalnya saksi itu orang kafir, atau saksi
itu tidak mempunyai sifat ‘adalah (alias orang fasik). Jadi, penetapan (itsbat) kefasikan saksi dilakukan hanya berdasarkan bukti-bukti syar’i (al-bayyinat asy-syar’iyyah), bukan berdasarkan perhitungan hisab.[32] Kedua,
syara’ telah menetapkan bahwa penentuan awal bulan kamariah adalah
dengan rukyatul hilal (dilihatnya hilal oleh manusia di muka bumi),
bukan dengan wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit).
Pandangan di atas, yakni penggunaan hisab untuk menafikan kesaksian
laporan rukyatul hilal, berpangkal pada satu kesalahpahaman, yakni
menganggap wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit) sebagai patokan bulan baru (asy-syahr al-jadid). Padahal, bulan baru secara syar’i (bukan secara waqi’i/faktual) hanya ditetapkan berdasarkan rukyatul hilal saja, bukan berdasarkan wiladatul hilal.[33]
Karena itu, perlu kami tegaskan di sini: Pertama, bahwa hisab falaki
(perhitungan astronomi), menurut kami, tidak dinyatakan oleh nas
syara’, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Selain itu, juga tidak bisa
ditarik, baik dengan Qiyas maupun Ijmak Sahabat. Karena itu, memasukkan hisab falaki sebagai metode dalam peribadatan (at-thariqah as-syar’iyyah fi al-’ibadat) telah menyalahi ketentuan syara’. Kedua, ilmu hisab dibangun berdasarkan asumsi lahirnya anak bulan (tawallud al-hilal).
Berpijak pada asumsi ini, maka kaum muslimin di dunia Islam bagian
Barat akan berpuasa sebelum kaum muslimin di bagian Timur. Di bagian
Barat, bisa jadi sudah berpuasa pada hari Selasa, sementara di bagian
Timur akan berpuasa pada hari Rabu. Ini benar-benar bisa terjadi, ketika
anak bulan tersebut lahir setelah tengah hari pada hari Senin,
misalnya. Dengan hisab, maka disimpulkan bahwa hari Selasa adalah
permulaan bulan bagi kaum muslimin yang tinggal di bagian Barat,
sehingga mereka pun akan berpuasa pada hari itu, jika hari itu merupakan
permulaan bulan Ramadhan. Tetapi, bagi yang tinggal di Timur, tidaklah
demikian. Karena, anak bulan belum lahir, sehingga puasanya pun bisa
berbeda sehari. Dengan demikian, penggunaan hisab justru akan
menyebabkan perpecahan kaum muslimin, baik dalam berpuasa maupun berhari
raya. Ini berbeda, jika mereka mengikuti rukyatul hilal dengan wihdat al-mathali’ (kesatuan matlak).[34]
Perlu Institusi Pemersatu
HTI
berpendapat bahwa perbedaan dalam penentuan awal bulan kamariyah,
seperti dalam mengawali puasa dan berhari raya, tiada lain hanya salah
satu masalah dari sekian banyak tumpukan masalah yang dihadapi umat
Islam akibat tiadanya negara Khilafah, sebagai institusi pemersatu umat
Islam. Dengan absennya Khilafah, umat Islam terpecah belah menjadi lebih
dari 50 negara bangsa (nation-state) yang masing-masing merasa berhak menentukan kapan puasa dan kapan berhari raya.[35]
Jika Khilafah eksis kembali (dalam waktu dekat Insya Allah),
maka Khalifah yang diberi amanat untuk menjalankan hukum-hukum Allah
akan dapat mengatasi perbedaan dan perpecahan umat dalam menentukan awal
bulan kamariah. Sebab jika Khalifah mengadopsi satu ijtihad dari sekian
ijtihad syar’i yang ada, maka hanya pendapat itulah yang wajib
diamalkan oleh seluruh kaum muslimin. Dengan demikian akan hilanglah
perbedaan pendapat dan terwujud persatuan. Kaidah fikih menyebutkan :
أمر الإمام يرفع الخلاف في المسائل الإجتهادية
“Perintah Imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah (khilafiyah).” [36]
Kesimpulan
Persoalan
khilafiyah penentuan awal bulan kamariyah memang cukup kompleks, sebab
di dalamnya terlibat setidaknya 3 masalah, yaitu: (1) masalah fikih,
seperti penentuan dengan rukyat atau hisab, kalau pakai rukyat apakah
rukyat lokal atau rukyat global, dan seterusnya, (2) masalah ilmiah (scientific),
seperti ilmu astronomi yang terkait rukyatul hilal, dan (3) masalah
politik, yaitu berkaitan dengan siapa pihak yang patut ditaati oleh umat
dalam hal penentuan awal bulan kamariah.
Namun
demikian, sekompleks apa pun persoalan yang ada, hendaknya usaha-usaha
untuk menyatukan umat Islam dalam penentuan awal bulan kamariah tidak
pernah berhenti dan harus dilakukan secara berkesinambungan. Berbagai
solusi yang ditawarkan demi persatuan umat, baik solusi jangka pendek
maupun jangka panjang, hendaknya dipertimbangkan dan dikaji dengan penuh
kebijaksanaan, keinsyafan, dan sikap lapang dada. Semoga Allah Azza wa
Jalla memudahkan urusan ini bagi kaum muslimin. Amin. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment