Islam
telah menggariskan seperangkat aturan sosial-kemasyarakatan yang
terbukti mampu mewujudkan keharmonisan interaksi laki-laki dan perempuan
sebagai bagian dari masyarakat yang berperadaban mulia. Dengan merujuk
pada aturan Islam (an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam), Daulah Khilafah menerapkan sistem ijtima’i berdasarkan syariah, bukan nilai-nilai Barat yang rusak karena mengadopsi prinsip liberalisme atau ‘kebebasan’.
Kekacauan
tatanan keluarga di negara-negara Barat saat ini turut memberikan
konstribusi besar bagi kehancuran peradaban Kapitalisme Barat. Semua
itu bermula dari rusaknya pola interaksi laki-laki dan perempuan.
Sebaliknya, peradaban emas kaum Muslim yang terwujud ketika umat berada
di bawah naungan Khilafah Islam juga disumbang oleh tata pergaulan
islami yang luhur yang didukung oleh kerjasama—bukan
persaiangan—laki-laki dan perempuan untuk meraih keridhaan Allah SWT.
Keluarga yang dilahirkan dari interaksi semacam ini tebukti menjadi
benteng kokoh bagi pembangunan kepribadian masing-masing anggota
keluarganya, yang membentengi dari segenap ancaman, ujian dan fitnah.
Pada gilirannya ia mampu mewujudkan masyarakat yang khas dan tenteram.
Berikut hukum-hukum terkait sistem ijtima’i yang diimplementasikan dalam kebijakan negara (Daulah Islam) hingga menghasilkan masa keemasan dalam peradaban manusia.
Pertama: Hak
dan kewajiban laki-laki dan perempuan ditentukan oleh Allah sesuai
dengan fitrah masing-masing, bukan berdasarkan konsep “kesetaraan
jender” ala Barat. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama dapat
meraih kedudukan yang tertinggi dengan jalan menaati aturan-aturan
Allah. Allah SWT berfirman:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kalian berbangsa –
bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah
orang yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Mahatahu lagi Maha Mengenal (QS al-Hujurat [49]: 13).
Menurut Islam, laki-laki dan perempuan boleh beraktivitas di tengah masyarakat sesuai dengan kedudukan mereka sebagai manusia. Allah SWT telah mengamanahkan tanggung jawab yang sama karena mereka memiliki kesamaan dalam hal kebutuhan fisik, naluri dan kemampuan akal. Keduanya berkewajiban menunaikan shalat, puasa, berbakti kepada orangtua, mendakwahkan Islam dan mengoreksi kebijakan penguasa. Namun, Allah SWT juga memberikan kepada keduanya tanggung jawab yang berbeda, sesuai dengan sifat jenis kelamin keduanya yang berbeda. Laki-laki wajib memberikan nafkah bagi keluarganya, sedangkan perempuan tidak. Menyusui dan mengasuh anak adalah tanggung jawab perempuan, bukan laki-laki. Mengatur rumah tangga juga merupakan kewajiban perempuan, meski laki-laki dianjurkan untuk membantunya.
Kedua: Tanggung
jawab utama kaum perempuan dalam masyarakat adalah di dalam rumah
tangganya. Peran utamanya adalah menjadi seorang ibu dan istri. Peran
ini tidak bisa digantikan oleh laki-laki. Perwujudan keluarga harmonis
dan pembentukan generasi unggulan meniscayakan peran ini. Perempuan
harus menyadari bahwa mengatur urusan rumah tangga dan mengasuh serta
mendidik anak-anak adalah tanggung jawab yang berat dan mulia. Namun
demikian, perempuan dibolehkan bekerja selama tidak mengganggu tanggung
jawab utamanya. Syariah Islam membolehkan perempuan mengembangkan
hartanya dengan bisnis sesuai syariah, menjadi dokter, insinyur,
ilmuwan, akademisi, politisi dan sebagainya. Namun, syariah melarang
perempuan bekerja pada bidang yang mengeksploitasi karakter
keperempuanannya seperti menjadi model iklan, peragawati dan lain-lain.
Perempuan juga diharamkan menduduki jabatan kekuasaan karena Rasulullah
saw. melarangnya berdasarkan hadis sahih:
لَنْ يُفْلِحَ الْقَوْمُ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ إِمْرَأَةً
Tidak akan beruntung suatu kaum jika mereka menyerahkan pemerintahannya kepada seorang perempuan (HR al-Bukhari).
Ketiga: Tanggung jawab menyediakan nafkah bagi seluruh anggota keluarga terletak di pundak suami. Jika karena alasan tertentu suami tidak mampu melaksanakan tanggung jawab tersebut, maka tugasnya berpindah kepada kerabat terdekat yang mampu. Bila tidak ada, negara bertanggung jawab menyediakan nafkah bagi keluarga tersebut. Dalam tatanan syariah Islam, perempuan tidak akan terzalimi dengan kewajiban nafkah yang menjadikan dirinya menanggung beban ganda sebagaimana konsep ‘kesetaraan jender’. Bukankah tanggung jawab mengandung dan menyusui tidak bisa dipertukarkan dengan laki-laki?
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لا
تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلا
مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
Kewajiban
ayahlah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya; waris pun berkewajiban demikian (QS al-Baqarah [2]: 233).
Jika ada yang mengabaikan kewajiban memberi nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan ia berkemampuan untuk itu, maka negara berhak memaksa dia untuk memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya. Hukum-hukum tentang nafkah ini telah banyak diulas panjang lebar dalam kitab-kitab fikih Islam.
Keempat: Negara
mengatur secara tegas batas interaksi antara laki-laki dan perempuan.
Dalam masyarakat Islam, kehidupan laki-laki terpisah dari kehidupan
perempuan. Semua pintu yang mengarah pada pergaulan bebas dan aktivitas
campur-baur (ikhtilath) laki-laki dan perempuan ditutup rapat-rapat. Perempuan dan laki-laki yang bukan mahram dilarang berduaan dan bersepi-sepi (khalwat). Perempuan hanya dibolehkan keluar rumah dengan pakaian sempurna (jilbab dan khimar)
dan dengan menaati tata pergaulan Islam. Namun demikian, laki-laki dan
perempuan boleh bertemu dan berinteraksi dalam berbagai aktivitas saat
ada kepentingan yang dibolehkan syariah seperti urusan jual-beli,
kesehatan, pendidikan, perwakilan (wakalah); atau dalam rangka melaksanakan perintah syariah semisal haji, zakat, menjenguk orang sakit dan sebagainya.
Dengan
penerapan hukum-hukum Islam telah terjamin sebuah kehidupan masyarakat
yang mulia dan beradab. Laki-laki dan perempuan melaksanakan aktivitas
kehidupan sehari-hari dengan cara yang terhormat. Masyarakat memandang
perempuan bukan sebagai komoditas yang bisa dieksploitasi, tetapi
sebagai warga negara yang terhormat dan aktif. Generasi muda terlindung
dari pemikiran dan gaya hidup kebebasan yang merusak, yang mengarahkan
pengembangan potensinya untuk menjadi penerus estafet kepemimpinan umat. Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb.
No comments:
Post a Comment