Korupsi didefinisikan sebagai
penggelapan atau penyelewengan uang negara atau perusahaan tempat seseorang
bekerja untuk menumpuk keuntungan pribadi atau orang lain. (Sudarsono, Kamus
Hukum, hlm. 231). Definisi lain menyebutkan korupsi adalah penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi,
keluarga, teman, atau kelompoknya. (Erika Revida, Korupsi di Indonesia :
Masalah dan Solusinya, USU Digital Library, 2003, hlm. 1).
Korupsi merupakan penyakit amat
berat yang menyerang negeri ini, yang kini tak lagi bersifat kasuistik atau
individual, tapi sudah bersifat sistemik dan dilakukan secara kelompok/mafia
(“berjamaah”). Korupsi di alam demokrasi saat ini telah merasuk ke setiap
instansi pemerintah (eksekutif), parlemen/wakil rakyat (legislatif), peradilan
(yudikatif), dan juga swasta. Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) Mahfud MD pernah
menyebutkan pusat-pusat korupsi di Indonesia terdapat di 4 (empat) sektor lembaga
pemerintah, yaitu: pajak, bea cukai, pertamina, dan pertanahan.
Korupsi dalam Syariah Islam
disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in,
termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan
kepada seseorang. Tindakan khaa`in ini tidak termasuk definisi mencuri
(sariqah) dalam Syariah Islam, sebab definisi mencuri (sariqah)
adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala
wajhil ikhtifaa` wal istitar). Sedang khianat ini bukan tindakan
seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang
dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada
seseorang itu. (Lihat Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm.
31).
Karena itu, sanksi (uqubat)
untuk khaa`in (pelaku khianat) bukanlah hukum potong tangan
bagi pencuri (qath’ul yad) sebagaimana diamanatkan dalam QS Al Ma`idah
: 38, melainkan sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya
ditentukan oleh hakim.
Dalam sebuah hadis dari Jabir bin
Abdullah, Rasulullah SAW bersabda : “Laysa ‘ala khaa`in wa laa ‘ala
muntahib wa laa ‘ala mukhtalis qath’un.” (Tidak diterapkan hukum potong
tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang
merampas harta orang lain, dan penjambret).” (HR Abu Dawud). (Abdurrahman
Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).
Lalu kepada koruptor diterapkan
sanksi apa? Sanskinya disebut ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan
kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sansinya bisa mulai dari yang paling
ringan, seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara,
pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau
media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling
tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat
ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya
kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat,
hlm. 78-89).
Mencegah Korupsi Menurut
Syariah Islam
Pada dasarnya, faktor utama
penyebab korupsi adalah faktor ideologi. Ini berarti, langkah paling utama dan
paling penting yang paling wajib dilakukan adalah menghapuskan pemberlakuan
ideologi demokrasi-kapitalis itu sendiri. Selanjutnya, setelah menghapuskan
ideologi yang merusak itu, diterapkan Syariah Islam sebagai satu-satunya sistem
hukum yang semestinya berlaku di negeri ini.
Tak dapat dipungkiri, di
Indonesia berlaku pluralisme sistem hukum. Pluralisme sistem hukum ini
sebenarnya adalah warisan kafir penjajah, bukan inisiatif asli bangsa Indonesia
yang mayoritas muslim. Dalam sistem hukum plural ini terdapat 3 (tiga) sistem
hukum; yaitu sistem hukum Islam, sistem hukum adat, dan sistem hukum Barat.
Menurut kami, secara normatif,
sistem hukum plural ini haram hukumnya diterapkan menurut Aqidah Islam.
Bukankah dalam Al-Qur`an Allah sudah berfirman yang berbunyi,”Laa yusyrik
fi hukmihi ahadan.” Artinya, Allah tidak mengambil seorangpun sebagai
sekutu-Nya dalam menetapkan hukum. (QS Al-Kahfi : 26). Maka, sistem hukum
plural yang syirik dan warisan kafir penjajah ini sudah semestinya dihapuskan
dari muka bumi. Melaksanakan sistem syirik ini bagi kami sama saja dengan
melanggengkan penjajahan di negeri ini.
Dengan diterapkannya Syariah
Islam (nantinya) sebagai satu-satunya sistem hukum tunggal di negeri ini, maka
Syariah Islam akan dapat memainkan perannya yang sangat efektif untuk
memberantas korupsi, baik peran pencegahan (preventif) maupun penindakan
(kuratif).
Secara preventif paling tidak ada
7 langkah untuk mencegah korupsi menurut Syariah Islam sebagai berikut :
Pertama, rekrutmen SDM
aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan
koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur
peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan
berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah). Nabi SAW pernah
bersabda,“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah
Hari Kiamat.” (HR Bukhari). Umar bin Khaththab pernah
berkata,“Barangsiapa mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau
karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya,
dan kaum mukminin.”
Kedua, negara wajib
melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin
Khaththab selalu memberikan arahan dan nasehat kepada bawahannya. Umar pernah
menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari,”Kekuatan dalam bekerja adalah
jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya,
pekerjaanmu akan menumpuk….”
Ketiga, negara wajib
memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi SAW,”Siapa
saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil
rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu
atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR
Ahmad). Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar,”Cukupilah para
pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”
Keempat, Islam melarang
menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi SAW bersabda,“Barangsiapa
yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di
luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud).
Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi SAW berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).
Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi SAW berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).
Kelima, Islam
memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar
bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir
jabatannya.
Keenam, adanya teladan
dari pimpinan. Manusia cenderung mengikuti orang terpandang dalam masyarakat,
termasuk pimpinannya. Maka Islam menetapkan kalau seseorang memberi teladan
yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya.
Sebaliknya kalau memberi teladan yang buruk, dia juga akan mendapatkan dosa
dari yang mengikutinya.
Ketujuh, pengawasan oleh
negara dan masyarakat. Umar bin Khaththab langsung dikritik oleh masyarakat
ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu
berkata, “Engkau tak berhak menetapkan itu, hai Umar.”
Menindak Korupsi Menurut
Syariah Islam
Kalau memang korupsi telah
terjadi, Syariah Islam mengatasinya dengan langkah kuratif dan tindakan
represif yang tegas, yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman
untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan
kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan,
seperti nasehat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati.
Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan.
(Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Demikianlah sekilas bagaimana
cara memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya menurut Syariah Islam. Cara ini
memang tidak mudah. Karena mengasumsikan perubahan sistem hukum yang sangat
mendasar, yaitu menuju sistem hukum tunggal, yaitu Syariah Islam. Walaupun
tidak mudah, tapi cara inilah yang patut diyakini akan memberantas korupsi
hingga ke akar-akarnya. Tanpa cara ini, pemberantasan korupsi hanya akan ada di
permukaan atau kulitnya saja.
Maka dari itu, tugas suci
menerapkan Syariah Islam tersebut seharusnya tidak dipikul hanya oleh kelompok
atau jamaah tertentu, melainkan menjadi tugas bersama seluruh komponen umat
Islam.
No comments:
Post a Comment