Pengampunan pajak (tax amnesty) sendiri berarti penghapusan pajak yang
diberikan kepada wajib pajak yang selama ini belum pernah atau tidak sepenuhnya
membayar pajak atas harta mereka baik berupa penghapusan pajak terutang, sanksi
administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan dalam jangka
yang ditetapkan Undang Undang. Data dan informasi mereka juga wajib dirahasiakan pejabat terkait.
Syaratnya, wajib pajak tersebut mau membayar uang tebusan. Nilai uang tebusan
tersebut ditentukan berdasarkan nilai aset yang dilaporkan dikali dengan tarif
tebusan yang ditetapkan Undang Undang. Selain itu, jika harta yang dilaporkan tersebut berada di luar negeri dan
direpatriasi atau dibawa masuk ke Indonesia, maka harta tersebut dikenakan
tarif repatriasi yang nilainya juga ditetapkan Undang Undang.
Meskipun masa
pemberlakukan Undang Undang Pengampunan Pajak hanya berlaku sepanjang enam bulan pada tahun 2016,
Pemerintah memperkirakan pendapatan yang dapat diraup dari kebijakan itu dapat
mencapai Rp 165 triliun. Adapun dana repatriasi yang diperkirakan masuk ke
Indonesia dapat mencapai Rp 1.000 triliun. Uang tersebut nantinya akan menjadi
sumber baru pendapatan APBN mengingat pendapatan pajak saat ini diperkirakan
realisasinya di bawah target akibat pertumbuhan ekonomiyang melambat.
Manfaat lain yang
diharapkan Pemerintah dari tax amnesty adalah
masuknya dana penduduk Indonesia yang selama ini disimpan di luar negeri. Menurut
McKensey, ada sekitar 250 milliar yu es dollar atau sekitar Rp 3.250 triliun kekayaan orang-orang kaya
Indonesia (High Net Worth Individuals) yang disimpan di luar negeri. Dari jumlah itu,
200 yu
es disimpan di Singapura baik dalam
bentuk real estate, deposito dan saham.
Masuknya sebagian dana tersebut ke dalam perekonomian
nasional, menurut Pemerintah, akan menjadi energi baru untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi. Nilai rupiah akan menguat. Likuiditas perbankan akan
meningkat sehingga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit. Uang yang
diinvestasikan dalam bentuk obligasi dan saham juga akan meningkatkan sumber
pembiayaan pembangunan dan kegiatan bisnis.
Meskipun demikian, tidak
sedikit yang menyangsikan optimisme Pemerintah tersebut. Pasalnya, orang-orang
yang mendapat pengampunan pajak, meskipun dibebaskan dari segala tuntutan yang
terkait dengan pajak dan datanya dirahasiakan, mereka tidak dijamin dari
tuntutan pidana atas tindakan kriminal yang menjadi sebab kepemilikan aset
mereka. Padahal diperkirakan banyak dari dana-dana yang diparkir di luar negari
tersebut berasal dari pendapatan ilegal seperti pendapatan yang diperoleh dari
hasil korupsi, transaksi narkoba, kegiatan penangkapan ikan secara ilegal,
pertambangan ilegal, dan pembalakan
hutan secara liar. Jika para penegak
hukum dapat melacak sumber pendapatan tersebut maka wajib pajak pelapor dapat
diseret ke meja hijau.
Bagi para pemilik dana
akan lebih aman menyimpan dana mereka di luar negeri terutama di negara-negara
yang pajaknya rendah (tax haven) seperti
Singapura. Di sisi lain, tax amnesty
memberikan rasa ketidakadilan kepada para wajib pajak yang selama ini taat
dalam membayar pajak. Kebijakan ini dapat memicu wajib pajak yang patuh untuk
ikut mengemplang pajak dengan harapan bahwa suatu saat Pemerintah akan
memberikan pengampunan kepada mereka. Sebagaimana diketahui, Pemerintah
Indonesia telah beberapa kali melakukan pengampunan pajak yakni pada tahun
1964, 1984 dan 2007.
Di negera-negara
Kapitalisme, pajak adalah pilar utama penerimaan negara terutama Pajak
Penghasilan (PPh) orang pribadi dan badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Di
Indonesia, pendapatan perpajakan terhadap APBN mencapai sekitar 82% dari total
penerimaan negara. Oleh karena itu, Pemerintah terus memperluas basis dan objek
kena pajak di samping mengutak-atik tarif pajak untuk meningkatkan penerimaan.
Tarif pajak penghasilan orang pribadi ditetapkan secara progresif. Artinya,
semakin tinggi pendapatan seseorang maka tarif pajak yang dikenakan kepada dia
semakin tinggi. Di Indonesia, tarif pajak penghasilan pribadi mulai dari
5%-30%. Rinciannya, 5% untuk penghasilan bersih kena pajak hingga 50 juta; 15%
untuk penghasilan 50 juta-250 juta; 25% untuk penghasilan 250 juta-500 juta;
dan 30% untuk penghasilan di atas 500 juta. Jika penghasilan bersih seorang
direksi, misalnya, sebesar Rp 2 miliar dalam setahun maka sekitar Rp 600 juta
harus disetor ke negara.
Di banyak negara tarif
pajak penghasilan tertinggi bahkan hampir mencapai separuh pendapatan seperti
di Jerman (47,5%), Spanyol (47%), Prancis (45%), Inggris (45%), Cina (45%) dan
Amerika Serikat (40%).Tarif pajak yang tinggi tersebut tentu saja membuat
banyak orang terutama yang kaya merasa keberatan meski pendapatannya diperoleh
secara legal. Pasalnya, semakin produktif mereka dalam menghasilkan kekayaan
maka persentasi kekayaan yang ditarik negara akan semakin besar. Oleh karena
itu, banyak wajib pajak melakukan berbagai cara untuk mengurangi kewajibannya
seperti memanipulasi laporan keuangan, menyuap petugas pajak hingga
menyembunyikan kekayaan mereka di negara-negara tax haven,
negara yang memiliki tarif pajak yang rendah dan kerahasiaan
informasi keuangan seseorang dijaga secara hukum seperti Sigapura, Swiss,
Hongkong, Mauritius, dan Panama.
Sebagian lagi memilih
untuk berpindah kewarganegaraan seperti yang dilakukan salah satu pendiri
Facebook, Eduardo Saverin, yang melepas kewarganegaraannya di AS untuk menjadi
warga Singapura demi menghindari pajak yang tinggi. Terbongkarnya Panama Papers yang sempat membuat heboh beberapa negara,
menjadi bukti banyaknya orang kaya termasuk dari Indonesia yang menyimpan harta
mereka di negara-tax haven demi
mengurangi pengeluaran untuk pajak, di samping motif untuk mempermudah kegiatan
bisnis, dan upaya untuk menyembunyikan harta yang diperoleh secara ilegal.
Pandangan Islam.
Praktik sistem
Kapitalisme tentu berbeda dengan konsep Islam. Dalam pandangan Islam, negara
Khilafah pada dasarnya tidak diperkenankan untuk menarik pajak. Menurut Atha
Abu Rasytah, larangan tersebut berdasarkan sabda Rasulullah. bersabda:Tidak akan masuk surga para penarik cukai (Hadis Ahmad). Maksud cukai di sini adalah harta yang ditarik dari
pedagang yang melintasi perbatasan negara. Namun, terdapat dalil yang melarang
seluruh bentuk penarikan pajak yaitu sabda Rasulullah.:
Sesungguhnya darah,
harta dan kehormatan kalian haram sebagaimana haramnya hari ini, di negeri ini
dan di bulan ini… (Hadis al-Bukhari Muslim).
Hadis ini menjadi dalil
atas ketidakbolehan Pemerintah menarik pajak dalam membiayai penyelenggaraan
negara. Negara hanya mengandalkan sumber-sumber pendapatan Baitul Mal telah
ditetapkan oleh syariah seperti fai, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, zakat (khusus
untuk 8 asnaf), pendapatan dari harta milik umum dan harta milik negara dan
sebagainya. Jika sumber-sumber tersebut dikelola dengan baik maka akan cukup
untuk membiayai pengeluaran negara.
Hanya saja, jika
sumber pendapatan tersebut ternyata tidak mencukupi dalam membiayai pengeluaran
yang bersifat wajib yang telah ditetapkan oleh syariah seperti pembayaran gaji
pegawai negara, pemberian santunan kepada fakir miskin, pembiayaan aktivitas
jihad, penanggulangan bencana, dan pembangunan infrastruktur yang dapat
menimbulkan dharar jika tidak dibangun, maka
kewajiban tersebut jatuh kepada kaum Muslim dalam bentuk pajak. Meskipun
demikian, penarikan pajak tersebut hanya dibebankan kepada mereka yang kaya,
yakni mereka yang memiliki kelebihan atas pemenuhan kebutuhan pokok dan sekundernya
secara layak.
Selain itu, jumlah
dana yang ditarik tidak boleh melebih kebutuhan Baitul Mal dalam membiayai
pengeluaran wajib tersebut di atas. Penarikan pajak juga bersifat sementara
karena akan dihentikan jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi.
Akan halnya zakat yang dikenakan atas penghasilan
seseorang muslim maka tarifnya hanya sebesar 2,5% dari hartanya jika telah
mencapai batas minimal (nishab) yakni setara
nilai 85 gram emas dan telah dimiliki selama setahun. Dengan tarif zakat yang
bersifat tetap (flat) tersebut maka sebanyak
apapun penghasilan seseorang maka ia hanya dikenakan tarif zakat yang sama.
Adapun ahlu dzimmah, orang kafir yang tinggal di dalam negara
Khilafah Islam, mereka sama sekali tidak dikenakan pajak atas penghasilannya. Mereka
hanya membayar jizyah sekali setahun yang
nilainya ditetapkan oleh Khalifah berdasarkan pendapatan ahli bahwa nilai
tersebut tidak menyusahkan ahlu dzimmah.
Demikianlah, Islam
memberikan solusi atas permasalahan negara dalam mengatasi masalah pendapatan
dan pengeluarannya. Seluruhnya didasarkan pada dalil-dalil syariah yang
bersumber dari Allah SWT, Zat Yang Mahaadil dan Bijaksana. Konsep tersebut jelas berbeda dengan sistem Kapitalisme
seperti di negara ini ketika UU termasuk APBN disusun berdasarkan hawa nafsu
manusia. Akibatnya, yang terjadi adalah meluasnya praktik kezaliman Pemerintah.
Di antaranya rakyat, termasuk yang miskin, dibebani berbagai bentuk pajak dan
pungutan untuk membiayai negara. Di sisi lain kekayaan negara diserahkan
pengelolaannya kepada pihak asing. Pada saat yang sama, Pemerintah tak segan
berkompromi dengan orang-orang kaya pelangar hukum dengan memberikan
pengampunan pajak kepada mereka, tak peduli jika harta mereka diperoleh secara
ilegal.
WalLâhu ‘alam bi ashshawab.
No comments:
Post a Comment