Awal mula terorisme banyak
menyita perhatian publik ketika terjadi peristiwa penabrakan pesawat komersil
Amerika Serikat (AS) yang sebelumnya telah dibajak oleh kelompok teroris ke
gedung kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001.
Pemerintah AS berreaksi cepat dengan menerapkan kebijakan war on terroris,
ditambah dengan bantuan media untuk membesarkan isu ini, berhasilah masyarakat
dunia terkontuksi persepsinya untuk menganggap terorisme adalah musuh bersama
terbesar mereka.
Sayangnya, kontruksi musuh bersama tersebut diikuti pula
dengan pengkontruksian masyarakat tentang kaitanya salah satu agama yang dekat
dengan terorisme sehingga membuat jelek wajah agama tersebut. Agama yang
dimaksud itu ialah Islam.
Selanjutnya Dewan Keamanan PBB
merespon dengan mengeluarkan Resolusi 1373 yang dikeluarkan pada 28 September
2001.Resolusi tersebut bertujuan untuk membatasi segala aktivitas gerakan,
organisasi dan pendanaan berbagai kelompok teroris. Negara-negara anggota PBB
didorong untuk saling berbagi informasi intelijen yang berkenaan dengan
kelompok-kelompok teroris. Namun resolusi tersebut belum memberikan definisi
apa yang dimaksud dengan terorisme. Resolusi DK-PBB 1566 kemudian dikeluarkan
pada tanggal 8 Oktober 2004 untuk melengkapi kekurangan Resolusi DK-PBB 1373
dengan mendefinisikan bahwa Terorisme menurut DK-PBB ialah, tindakan-tindakan
kriminal, termasuk dari negara terhadap warganegara, yang menyebabkan kematian
atau siksaan fisik atau penyanderaan yang dilakukan dengan tujuan menciptakan
keadaan teror di tengah-tengah masyarakat umum atau sekelompok orang atau
orang-orang tertentu, mengintimidasi suatu populasi atau memaksa suatu
pemerintahan atau suatu organisasi internasional untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu tindakan.
Terorisme kini tak hanya sekadar
perang melawan kejahatan oknum anak manusia, namun telah beralih menjadi sebuah
perang ideologi. Sidney Jones, peneliti dari ICG (International Crisis
Group) dalam sebuah acara dialog di televisi swasta mengakui bahwa perang
melawan terorisme ini adalah perang ideologi. Perang ideologi ini juga
ditegaskan oleh Pimpinan AS, Presiden George Bush saat dia berpidato di depan National
Endowment of Democracy ,Kamis, 6 Oktober 2005, dan dihadapan undangan the
Ronald Reagan Presidential Library (dalam kesempatan lain). Bush
menyebutkan secara jelas ideologi Islam di balik aksi-aksi terorisme dunia
internasional, yang menjadi musuh nyata Amerika Serikat saat ini, ia
mengatakan: ‘The murderous ideology of the Islamic radicals is the great
challenge of our new century. Like the ideology of communism, our new enemy
teaches that innocent individuals can be sacrificed to serve a political vision.
(Ideologi pembunuh Islam radikal adalah tantangan terbesar dari abad baru kita.
Seperti ideologi komunis, musuh baru kita mengajarkan bahwa individu yang tidak
bersalah bisa dikorbankan untuk melaksanakan sebuah visi politik).
Implikasi Terorisme Ala
Definisi Amerika Terhadap Indonesia.
Adanya perbedaan sikap pemerintah
dalam menyikapi antara terorisme dan gerakan separatisme, mengundang berbagai
kritikan. Pemerintah sepertinya memberikan banyak kelonggaran terhadap tindakan
yang nyata-nyata merupakan upaya memisahkan diri seperti yang terjadi di Aceh,
Papua dan Maluku. Sampai-sampai di depan presiden aktivis RMS bisa mengibarkan
bendera RMS meskipun belum benar-benar berkibar. Di Papua, polisi bahkan
tidak bisa masuk ke dalam gedung , saat bendera Bintang Kejora dikibarkan
dengan disertai teriakan merdeka berulang-ulang. Hal yang sama terjadi di
Aceh, pembentukan partai GAM dengan bendera GAM, seperti tidak disikapi dengan
serius , meskipun berbagai pihak telah banyak mengecam.
Beda halnya, saat sikap
pemerintah terhadap apa yang dituduh sebagai terorisme. Sikap represif pun
digunakan oleh pemerintah terutama oleh Densus 88 yang dibentuk untuk memerangi
terorisme. Penahanan tanpa bukti yang jelas, penyiksaan untuk mendapat
pengakuan, sampai tembak di tempat, menjadi lumrah dilakukan terhadap kelompok
yang dituduh teroris.
Perbedaan sikap terhadap kelompok
sepratisme dan kelompok yang dituduh teroris, menimbulkan anggapan bahwa
pemerintah bertindak dengan arahan asing. Dukungan asing terhadap sepratisme
membuat pemerintah ekstra hati-hati, karena khawatir dituduh melanggar HAM.
Sementara itu, kelompok yang dianggap teroris diperlakukan represif untuk
menunjukkan bahwa Indonesia mengikuti trend global perang melawan terorisme.
Pengamat Intelijen Umar Abduh
menyayangkan pemerintahan yang ada tidak kritis baik itu legislatif, yudikatif,
maupun eksekutif bahwa kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia itu untuk menjaga
keamanan dan kesejahteraan bangsa atau rakyat Indonesia. Tetapi tiba-tiba
mengimpor terorisme ini untuk memecahbelah dan memusuhi bangsanya sendiri.
Tak disangkal, Indonesia termasuk
target utama imperialisme modern Amerika. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din
Syamsuddin meyakini program deradikalisasi merupakan proyek Amerika yang malah
akan melanggengkan terorisme. “Saya sampai saat ini meyakini program
deradikalisasi ini adalah proyek Amerika Serikat,” ujarnya dalam video yang
ditayangkan dalam Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah: Pemberantasan
Terorisme yang Pancasilais dan Komprehensif, di Gedung Pusat Muhammadiyah,
Menteng, Jakarta.
Dan mulai saat itulah pemerintah
melakukan proyek deradikalisasi termasuk adanya deputi secara khusus yang
menangani deradikalisasi di BNPT. Tetapi deradikalisasi yang dilakukan selama
ini menempuh jalan yang keliru. Bukan untuk menghilangkan radikalisme itu.
Tetapi deradikalisme mengambil bentuk radikalisme baru. Inilah dua ekstrimitas.
Dari radikalisme dan deradikalisme.
Berkenaan dengan rekayasa Barat
dalam wacana terorisme ini, kaum muslim perlu membangun opini dan sikap yang
benar sebagai tandingan terhadap opini-opini yang berusaha meruntuhkan ajaran
Islam. Realitasnya, para pelaku terorisme itu memiliki pemahaman terhadap
syariat Islam yang sangat lemah. Akibatnya, mereka dengan mudah dicekoki
pemahaman-pemahaman yang menyimpang oleh jaringan tertentu. Parahnya lagi jika
jaringan tersebut menjadi bagian dari rantai jaringan global untuk meruntuhkan
Islam. Di sinilah urgensinya mengkampanyekan penerapan syariah secara benar,
termasuk di dalamnya menyangkut jihad. Umat perlu dibina agar menjadi bagian
dari aktivitas dakwah yang berbasis pada pemahaman dan pemikiran, bukan
kekerasan.
No comments:
Post a Comment