Friday, 29 July 2016

Terorisme dalam telaah kritis




Awal mula terorisme banyak menyita perhatian publik ketika terjadi peristiwa penabrakan pesawat komersil Amerika Serikat (AS) yang sebelumnya telah dibajak oleh kelompok teroris ke gedung kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001. Pemerintah AS berreaksi cepat dengan menerapkan kebijakan war on terroris, ditambah dengan bantuan media untuk membesarkan isu ini, berhasilah masyarakat dunia terkontuksi persepsinya untuk menganggap terorisme adalah musuh bersama terbesar mereka.
Sayangnya, kontruksi musuh bersama tersebut diikuti pula dengan pengkontruksian masyarakat tentang kaitanya salah satu agama yang dekat dengan terorisme sehingga membuat jelek wajah agama tersebut. Agama yang dimaksud itu ialah Islam.
Selanjutnya Dewan Keamanan PBB merespon dengan mengeluarkan Resolusi 1373 yang dikeluarkan pada 28 September 2001.Resolusi tersebut bertujuan untuk membatasi segala aktivitas gerakan, organisasi dan pendanaan berbagai kelompok teroris. Negara-negara anggota PBB didorong untuk saling berbagi informasi intelijen yang berkenaan dengan kelompok-kelompok teroris. Namun resolusi tersebut belum memberikan definisi apa yang dimaksud dengan terorisme. Resolusi DK-PBB 1566 kemudian dikeluarkan pada tanggal 8 Oktober 2004 untuk melengkapi kekurangan Resolusi DK-PBB 1373 dengan mendefinisikan bahwa Terorisme menurut DK-PBB ialah, tindakan-tindakan kriminal, termasuk dari negara terhadap warganegara, yang menyebabkan kematian atau siksaan fisik atau penyanderaan yang dilakukan dengan tujuan menciptakan keadaan teror di tengah-tengah masyarakat umum atau sekelompok orang atau orang-orang tertentu, mengintimidasi suatu populasi atau memaksa suatu pemerintahan atau suatu organisasi internasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.
Terorisme kini tak hanya sekadar perang melawan kejahatan oknum anak manusia, namun telah beralih menjadi sebuah perang ideologi. Sidney Jones, peneliti dari ICG (International Crisis Group) dalam sebuah acara dialog di televisi swasta mengakui bahwa perang melawan terorisme ini adalah perang ideologi. Perang ideologi ini juga ditegaskan oleh Pimpinan AS, Presiden George Bush saat dia berpidato di depan National Endowment of Democracy ,Kamis, 6 Oktober 2005, dan dihadapan undangan the Ronald Reagan Presidential Library (dalam kesempatan lain). Bush menyebutkan secara jelas ideologi Islam di balik aksi-aksi terorisme dunia internasional, yang menjadi musuh nyata Amerika Serikat saat ini, ia mengatakan: ‘The murderous ideology of the Islamic radicals is the great challenge of our new century. Like the ideology of communism, our new enemy teaches that innocent individuals can be sacrificed to serve a political vision. (Ideologi pembunuh Islam radikal adalah tantangan terbesar dari abad baru kita. Seperti ideologi komunis, musuh baru kita mengajarkan bahwa individu yang tidak bersalah bisa dikorbankan untuk melaksanakan sebuah visi politik).
Implikasi Terorisme Ala Definisi Amerika Terhadap Indonesia.
Adanya perbedaan sikap pemerintah dalam menyikapi antara terorisme dan gerakan separatisme, mengundang berbagai kritikan. Pemerintah sepertinya memberikan banyak kelonggaran terhadap tindakan yang nyata-nyata merupakan upaya memisahkan diri seperti yang terjadi di Aceh, Papua dan Maluku. Sampai-sampai di depan presiden aktivis RMS bisa mengibarkan bendera RMS meskipun belum benar-benar berkibar.  Di Papua, polisi bahkan tidak bisa masuk ke dalam gedung , saat bendera Bintang Kejora dikibarkan dengan disertai teriakan merdeka berulang-ulang.  Hal yang sama terjadi di Aceh, pembentukan partai GAM dengan bendera GAM, seperti tidak disikapi dengan serius , meskipun berbagai pihak telah banyak mengecam.
Beda halnya, saat sikap pemerintah terhadap apa yang dituduh sebagai terorisme. Sikap represif pun digunakan oleh pemerintah terutama oleh Densus 88 yang dibentuk untuk memerangi terorisme. Penahanan tanpa bukti yang jelas, penyiksaan untuk mendapat pengakuan, sampai tembak di tempat, menjadi lumrah dilakukan terhadap kelompok yang dituduh teroris.
Perbedaan sikap terhadap kelompok sepratisme dan  kelompok yang dituduh teroris, menimbulkan anggapan bahwa pemerintah bertindak dengan arahan asing. Dukungan asing terhadap sepratisme membuat pemerintah ekstra hati-hati, karena khawatir dituduh melanggar HAM. Sementara itu, kelompok yang dianggap teroris diperlakukan represif untuk menunjukkan bahwa Indonesia mengikuti trend global perang melawan terorisme.
Pengamat Intelijen Umar Abduh menyayangkan pemerintahan yang ada tidak kritis baik itu legislatif, yudikatif, maupun eksekutif bahwa kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia itu untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan bangsa atau rakyat Indonesia. Tetapi tiba-tiba mengimpor terorisme ini untuk memecahbelah dan memusuhi bangsanya sendiri.
Tak disangkal, Indonesia termasuk target utama imperialisme modern Amerika. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin meyakini program deradikalisasi merupakan proyek Amerika yang malah akan melanggengkan terorisme. “Saya sampai saat ini meyakini program deradikalisasi ini adalah proyek Amerika Serikat,” ujarnya dalam video yang ditayangkan dalam Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah: Pemberantasan Terorisme yang Pancasilais dan Komprehensif, di Gedung Pusat Muhammadiyah, Menteng, Jakarta.
Dan mulai saat itulah pemerintah melakukan proyek deradikalisasi termasuk adanya deputi secara khusus yang menangani deradikalisasi di BNPT. Tetapi deradikalisasi yang dilakukan selama ini menempuh jalan yang keliru. Bukan untuk menghilangkan radikalisme itu. Tetapi deradikalisme mengambil bentuk radikalisme baru. Inilah dua ekstrimitas. Dari radikalisme dan deradikalisme.
Berkenaan dengan rekayasa Barat dalam wacana terorisme ini, kaum muslim perlu membangun opini dan sikap yang benar sebagai tandingan terhadap opini-opini yang berusaha meruntuhkan ajaran Islam. Realitasnya, para pelaku terorisme itu memiliki pemahaman terhadap syariat Islam yang sangat lemah. Akibatnya, mereka dengan mudah dicekoki pemahaman-pemahaman yang menyimpang oleh jaringan tertentu. Parahnya lagi jika jaringan tersebut menjadi bagian dari rantai jaringan global untuk meruntuhkan Islam. Di sinilah urgensinya mengkampanyekan penerapan syariah secara benar, termasuk di dalamnya menyangkut jihad. Umat perlu dibina agar menjadi bagian dari aktivitas dakwah yang berbasis pada pemahaman dan pemikiran, bukan kekerasan.

No comments:

Post a Comment