Saturday, 4 January 2020

4 Pilar Harga Mati (demokrasi vs khilafah)

4 Pilar harga mati apakah tepat jika ditujukan kepada pancasila, uud 45, nkri dan bhinneka tunggal ika. Semuanya itu berupa produk kesepakatan bersama yang bukan harga mati, namun dapat dirubah dengan kesepakatan baru jika suara mayoritas rakyat berkehendak. Tidak ada harga mati dalam sistem demokrasi, Kedaulatan rakyat adalah prinsip demokrasi yang terus menghasilkan kesepakatan-kesepakatan baru sesuai keadaan dan kepentingan. Pancasila bukan harga mati, dapat diganti dengan saptasila, ekasila atau lainnya jika mayoritas rakyat menghendaki. Uud 45 bukan harga mati, dapat di amandemen kapanpun sesuai keinginan jika mayoritas rakyat menghendaki. NKRI juga bukan harga mati, wilayahya dapat ditambah atau dikurangi jika mayoritas rakyat menghendaki. Dan slogan bhinneka tunggal ika juga bukan harga mati, slogan ini dapat diganti kapanpun dengan nama apapun sesuai kesepakatan..


Lalu adakah harga mati dalam sistem demokrasi? jawabanya jelas tidak ada harga mati dalam demokrasi, termasuk 4 pilar harga mati (pancasila, uud 45, nkri, bhinneka) yang ada hanya kesepakatan bersama atas dasar suara mayoritas. Suara mayoritas ini menjadi penentu benar atau salah, adil atau tidak adil, manfaat atau tidak manfaat, bahkan menjadi penentu halal dan haram. 4 Pilar harga mati HANYA ada dalam sistem khilafah yang merupakan sistem politik dalam ideologi Islam. 4 pilar harga mati tersebut adalah :
1. Kedaulatan di tangan syara
2. Kekuasaan di tangan rakyat
3. Hanya ada Satu khalifah untuk selurah rakyat
4. Hanya Khalifah yang Berhak Men-tabanni (adopsi) Hukum-Hukum Syara’

Kedaulatan di tangan syara.

Bahwa segala sesuatu perbuatan di dasarkan pada hukum syara yaitu al quran, as sunnah, ijma sahabat dan qiyas. Ini adalah harga mati yang tidak bisa ditawar tawar lagi. Perbuatan itu Benar atau salah, adil atau tidak adil, manfaat atau tidak manfaat, halal atau haram semua di dasarkan pada hukum syara tersebut. Ada 3 keputusan yang dapat dihasilkan disini yang hanya ada dalam sistem khilafah Islam :

1. Keputusan yang sifatnya pasti (qath'i)
Tidak ada tawar menawar baik itu berasal dari suara mayoritas atau khalifah sendiri atas suatu hukum perbuatan yang sifatnya pasti yaitu halal dan haram. Ketika hukum syara menetapkan sesuatu haram maka tidak bisa dirubah dengan adanya kesepakatan / suara mayoritas. Minuman keras apapun merknya tetap haram meski mayoritas rakyat ingin mengatur peredaranya, transaksi riba tetap haram meski mayoritas rakyat ingin melakukanya, zina tetaplah haram meski mayoritas rakyat membolehkanya. Segala pelanggaran terhadap hukum syara yang sifatnya pasti ini dianggap sebagai sebuah kejahatan yang ada sanksinya.

2. Keputusan yang sifatnya boleh (mubah) dan mudah
Dalam setiap perbuatan yang masuk kategori mubah dan mudah, maka suara mayoritas dapat menjadi acuannya. Prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat dalam perkara perkara yang sifatnya mubah dan mudah boleh dilakukan. Jadi musyawarah dalam pengambilan keputusan dalam Islam hanya dibatasi pada perkara perkara mubah dan mudah ini. Misalkan Mau pergi ke suatu tempat mau naik pesawat atau naik kereta, suara mayoritas dapat menjadi acuannya. Mau menginap di hotel berbintang atau tdak, suara mayoritas dapat menjadi acuannya. Semua perkara perkara tersebut adalah mubah dan mudah, sehingga suara mayoritas dapat menjadi acuannya.

3. Keputusan yang sifatnya boleh (mubah) tetapi perlu keahlian
Untuk perkara ini, suara mayoritas tidak dapat menjadi acuan, tetapi pendapat dari seseorang yang memiliki keahlian dalam perkara tersebut yang menjadi acuannya. Karena perkara ini merupakan sesuatu yang mubah tetapi memerlukan keahlian seperti dalam perkara membangun jembatan, ketika suara mayoritas menghendaki jembatan di buat dengan desain A, tetapi ada seseorang yang ahli dalam kontruksi jembatan kemudian memilih desain B, maka pendapat ahli itulah yang menjadi acuannya bukan suara mayoritas.

Cara Pengambilan keputusan seperti ini hanya ada dalam Islam dan tidak akan ditemukan dalam sistem manapun. Dalam demokrasi pengambilan keputusan hanya melalui suara terbanyak / voting, Dalam komunis keputusan otoriter oleh tangan negara saja. Sedangkan dalam Islam segala keputusan di dasarkan pada hukum syara sesuai dengan status perbuatannya. Kedaulatan di tangan syara adalah harga mati yang berlaku untuk selama lamanya. Tidak ada kesepakatan apapun yang dapat merubah kedudukan hukum syara sebagai kedaulatan tertinggi.

Kekuasaan ditangan rakyat.

Dalam memilih seorang khalifah, diserahkan kepada umat Islam dengan uslub / cara yang disepakati apakah melalui pemilu atau melalui anggota majelis umat. Namun untuk proses pengangkatan seorang khalifah wajib melalui metode baku yaitu baiat. Tanpa adanya baiat maka kedudukan khalifah tidak syah dan tidak dapat ditaati. Namun setelah baiat terjadi seluruh rakyat wajib tunduk dan patuh kepada perintah khalifah. Jadi baiat untuk mengangkat seorang khalifah adalah harga mati, tidak bisa digantikan dengan metode lainya. Setiap orang wajib hukumnya mengangkat seorang khalifah dengan baiat ini, baik dengan baiat iniqad atau baiat taat untuk seluruh rakyat.

Lalu apakah seorang khalifah nanti akan otoriter dalam pemerintahannya? jawabanya TIDAK, karena khalifah hanya memerintah atas dasar hukum syara. Setiap perbuatan khalifah harus sesuai / terikat dengan hukum syara, apabila bertentangan rakyat tidak wajib lagi untuk taat. Tetapi rakyat wajib taat sepenuhnya jika semua perintahnya sesuai hukum syara. Ada mekanisme kontrol penguasa melalui majelis umat untuk mengoreksi kebijakan khalifah dan ada mekanisme pelengseran khalifah melalui mahkamah madzalim jika penguasa sudah tidak layak lagi menjadi khalifah.

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya (no. 1851), dari Abdullah ibn Umar radhiyallahu anhuma, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa melepas tangannya (baiatnya) dalam mentaati pemimpin, ia akan bertemu dengan Allah di hari kiamat dengan tanpa memiliki hujjah, dan barangsiapa meninggal dalam keadaan tiada baiat di pundaknya maka matinya seperti mati jahiliyah.”

Jelas kekuasaan ditangan rakyat adalah kekuasaan rakyat untuk memilih penguasa/khalifah dengan metode baiat untuk pengangkatanya. Thariqah / metode pengangkatan dengan baiat ini adalah bersifat baku, harga mati yang tidak akan berubah selama lamanya. Tidak syah kekuasaan / khalifah tanpa baiat, dan tidak ada baiat tanpa ada rakyat.

Hanya ada satu khalifah untuk seluruh rakyat

Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Abu Said al-Khudi, dari Rasulullah saw., bahwa Beliau pernah bersabda:

Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah (hukuman mati) yang paling akhir dari keduanya. (HR Muslim).

Khalifah hanya satu untuk seluruh kaum muslimin, ini adalah ketentuan baku, harga mati tidak dapat ditawar tawar lagi sampai kiamat. Bahkan jika ada dua khalifah, perintahnya adalah bunuh khalifah kedua. Dalam kitab Ajhizah ad-Daulah al-Khilafah (Struktur Negara Khilafah), Syech Taqiyuddin An Nabbani telah menjelaskan secara rinci bahwa umat Islam di seluruh dunia wajib berada dalam satu negara dan wajib pula hanya ada satu Khalifah. Secara syar‘i, umat Islam di seluruh dunia haram memiliki lebih dari satu negara dan lebih dari seorang khalifah.

Begitu pula wajib hukumnya menjadikan sistem pemerintahan di negara Khilafah sebagai sistem kesatuan dan haram menjadikannya sebagai sistem federasi.

Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

"Siapa saja yang telah membaiat seorang imam/khalifah, lalu ia telah memberinya genggaman tangannya dan buah hatinya, hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah (hukum mati) orang itu. (HR Muslim)


Hanya Khalifah yang Berhak Men-tabanni (adopsi) Hukum-Hukum Syara’

Khalifah adalah satu-satunya pihak yang berhak melakukan tabani (adopsi/legalisasi) hukum-hukum syara’ menjadi UUD dan UU Negara Khilafah. Ijma’ shahabat menetapkan bahwa hanya khalifah yang berhak untuk mengadopsi berbagai hukum, sebagaimana kaidah-kaidah syara’:
(1). Perintah imam (khalifah) menghilangkan perselisihan.
(2). Perintah imam (khalifah) harus dilaksanakan, baik secara lahir maupun batin.
(3). Bagi seorang sulthan (khalifah) memiliki hak mengeluarkan keputusan-keputusan hukum sesuai problematika yang terjadi

Hak istimewa yang dimiliki oleh khalifah ini, tidak berarti bahwa seluruh tabanni-nya tunduk mengikuti hawa nafsu dan kemauan pribadi Khalifah. Hukum Syara’ telah menegaskan bahwa khalifah dalam melakukan tabanni (adopsi) untuk membuat undang-undang harus terikat dengan hukum syara'. Seorang khalifah haram melakukan tabanni (adopsi) hukum yang tidak digali dengan cara yang benar dari dalil-dalil syara’. Artinya khalifah dalam mengadopsi berbagai hukum, yakni dalam menyusun undang-undang wajib terikat hanya dengan hukum-hukum syara’ semata.

Hak men tabbani hukum syara' oleh Khalifah menjadi UUD dan UU untuk mengatur urusan rakyat ini bersifat baku / harga mati untuk selamanya. Tidak ada selain khalifah yang berhak melakukannya. Proses legislasi cepat, murah, tidak ada unsur kepentingan pribadi atau kelompok.

Harga mati hanya ada dalam Islam, termasuk 4 pilar pemerintahan yang telah dijelaskan. Tidak mungkin suara mayoritas mengubah ketentuan yang sudah pasti dalam Islam. Ini berbeda dengan demokrasi yang mendasarkan suara mayoritas dalam setiap keputusan yang dapat terus berubah sesuai kesepakatan. Tidak ada harga mati dalam demokrasi, bahkan demorasi sendiri adalah hasil kesepakatan yang dapat diganti.

No comments:

Post a Comment