Thursday, 28 May 2020

Persepsi Kaum Muslim terhadap al-Quran dan Politik

Bagi seorang Muslim yang taat, al-Quran tak sekadar dibaca, tetapi juga diamalkan.  Rasulullah SAW memberikan perumpamaan:

Orang Mukmin yang membaca dan mengamalkan al-Quran bagaikan buah utrujah. Rasa dan baunya enak. Orang Mukmin yang tidak membaca al-Quran, tetapi mengamalkannya bagaikan buah kurma. Rasanya enak, namun tak beraroma. Orang munafik yang membaca al-Quran bagaikan rayhanah. Baunya menyenangkan, namun rasanya pahit. Orang munafik yang tidak membaca al-Quran bagaikan hanzhalah. Rasa dan baunya pahit/tidak enak (HR al-Bukhari).

Bagaimana persepsi kaum Muslim terhadap al-Quran?

Kelompok Pertama: Di antara mereka ada yang menolak al-Quran digunakan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Persepsi ini jelas akan menjadikan al-Quran tak bedanya dengan lembaran kertas dengan tulisan-tulisan yang tak memiliki makna.  Ini adalah persepsi yang absurd.

Kelompok Kedua: Di antara mereka ada yang hanya mengambil al-Quran sebatas petunjuk untuk mengatur masalah ibadah mahdhah dan sebatas nilai-nilai moral saja. Inilah persepsi kaum sekular.

Kelompok Ketiga: Di antara mereka ada yang meyakini bahwa al-Quran wajib diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka meyakini bahwa saat al-Quran diterapkan pada seluruh aspek kehidupan pasti akan membawa kebaikan.

Mereka pun yakin bahwa saat kaum Muslim berpegang teguh pada al-Quran, mereka tidak akan tersesat selamanya. Inilah janji Allah SWT dan Rasul-Nya:

Aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah (al-Quran) dan Sunnah Rasul-Nya (HR al-Hakim).


Allah SWT memerintahkan kita agar berpedoman pada al-Quran secara total. Al-Quran tidak boleh diambil sebagian dan ditinggalkan sebagian lainnya.
Berdasarkan hal ini, jelas al-Quran adalah pedoman hidup untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk politik.

Al-Quran dan Politik

Diskusi seputar ruang lingkup pengamalan al-Quran membawa perdebatan hingga saat ini. Terutama saat al-Quran dikaitkan dengan politik. Ada yang menolak sama sekali al-Quran dikaitkan dengan politik (kelompok1).  Ada yang mengatakan al-Quran dapat dikaitkan dengan politik, tetapi sebatas nilai-nilainya saja (kelompok 2). Ada pula yang tegas mengatakan bahwa al-Quran dan politik tak bisa dipisahkan (kelompok 3).

Perdebatan di atas juga tak bisa dilepaskan dari bagaimana memaknai politik itu sendiri. Setidaknya ada dua perspektif tentang makna politik.

Pertama: Politik dimaknai sebagai seni untuk mendapatkan kekuasaan. Dari sini seorang “politisi” akan berusaha dengan segala cara untuk meraih kekuasaan. Tak peduli halal-haram. Inilah logika politik machiavellis. Makna politik menghalalkan segala cara inilah yang saat ini sedang berlangsung dan banyak digandrungi oleh para politisi di negeri ini.

Kedua: Politik dimaknai sebagai siyasah, yaitu pengaturan urusan umat (ri’ayah syu’un al-ummah). Inilah makna sesungguhnya dari politik. Penekanannya pada aspek pengurusan, pelayanan dan pengaturan urusan rakyat. Bukan pada kekuasaan. Kekuasaan hanya alat yang diperlukan semata-mata untuk kemaslahatan umat. Inilah makna politik yang dikehendaki Islam. Oleh karena itu politik Islam dapat dimaknai sebagai pengaturan urusan umat (rakyat) dengan hukum-hukum Islam.

Definisi ini antara lain diambil dari sabda Rasulullah saw,

“Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat dan dia tidak benar-benar mengurus mereka, dia tidak akan mencium bau surga.” (HR al-Bukhari).

Rasulullah saw. pun bersabda,

“Dulu, Bani Israil selalu diurus (tasûsûhum) oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak akan nabi sesudahku. Yang akan ada adalah para khalifah.” (HR Muslim).


Pentingnya Kekuasaan

Jelas, al-Quran tak bisa dipisahkan dari politik. Politik berkaitan erat dengan kekuasaan. Hanya dengan kekuasaanlah, al-Quran benar-benar bisa diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Itulah mengapa dalam perjalanan dakwahnya, Rasulullah saw. berharap memperoleh kekuasaan. Tentu agar dengan kekuasaan itu beliau bisa membumikan al-Quran. Allah SWT berfirman:

وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا

Katakanlah, “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar serta berikanlah kepada diriku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS al-Isra’ [17]: 80).

Saat menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir menukil pernyataan Qatadah ra.,
“Di dalam ayat ini terkandung makna, Rasulullah saw. amat menyadari bahwa tidak ada kemampuan pada diri beliau untuk menegakkan urusan agama (Islam) ini, kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau memohon (kepada Allah SWT) kekuasaan yang bisa menolong Kitabullah, menegakkan hudud Allah, melaksanakan semua kewajiban-Nya dan menegakkan agama-Nya (Islam). Kekuasaan yang demikian adalah rahmat dari Allah yang Dia berikan kepada para hamba-Nya (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 5/111).

Dengan demikian al-Quran harus ditopang oleh kekuasaan. Inilah juga yang dinyatakan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada para pejabat di bawahnya, “Agama (Islam) dan kekuasaan itu ibarat saudara kembar. Satu sama lain saling membutuhkan.” (Abdul Hayyi al-Kattani, Taratib al-Idariyah, 1/395).

Hal senada dinyatakan oleh Imam al-Ghazali, “Agama (Islam) dan kekuasaan ibarat dua saudara kembar. Keduanya lahir dari satu rahim yang sama.” (Al-Ghazali, Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, 1/19).

Faktanya, tanpa ditopang oleh kekuasaan, al-Quran hanya sebatas menjadi bacaan dan hapalan. Isinya tak bisa diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Inilah yang terjadi saat ini. Kondisi ini terus berlangsung sejak institusi politik/kekuasaan Islam yang terakhir, yakni Khilafah Utsmaniyah, dihancurkan tahun 1924 oleh tangan-tangan jahat musuh-musuh Islam. Sejak saat itu hingga kini mayoritas hukum-hukum al-Quran dicampakkan. Digantikan oleh hukum-hukum Barat sekular yang kufur.

Alhasil, berpegang teguh pada al-Quran dan as-Sunnah adalah bekal penting dalam menjalankan seluruh aspek kehidupan, termasuk politik. Hanya dengan berpegang pada al-Quran lah kehidupan akan menjadi berkah. Hanya dengan berpegang pada al-Quran pula kaum Muslim tidak akan tersesat selama-lamanya.

Sumber : Buletin Kaffah no 141

No comments:

Post a Comment