Sunday, 16 August 2015

Kemerdekaan Semu



Indonesia memang sudah 70 tahun merdeka dari penjajahan fisik (militer). Namun, sejak merdeka tahun 1945 dari penjajahan fisik (militer) hingga saat ini, sesungguhnya negeri ini masuk dalam perangkap penjajahan gaya baru, yakni penjajahan non-fisik (non-militer). Artinya, hingga kini Indonesia sesungguhnya masih terjajah dan belum sepenuhnya merdeka secara hakiki.


Penjajahan gaya lama dilakukan dengan kekuatan militer, mengambil-alih dan menduduki satu wilayah serta membentuk pemerintahan kolonial di negara/wilayah jajahan. Namun, cara ini secara umum sudah ditinggalkan karena membangkitkan perlawanan dari penduduk wilayah yang dijajah, yang merasakan langsung penjajahan secara nyata. Karena itu penjajahan akhirnya dilakukan dengan gaya baru yang tak mudah dirasakan oleh pihak terjajah, yaitu melalui kontrol serta menanamkan pengaruh ekonomi, politik, pemikiran, budaya, hukum dan hankam atas wilayah yang dijajah. Namun, tujuan akhirnya sama, yaitu mengalirkan kekayaan wilayah itu ke negara penjajah.

Indonesia adalah contoh nyata negeri yang masih terjajah. Dari sisi pembuatan aturan dan kebijakan, banyak sekali UU di negeri ini yang didektekan oleh pihak asing. Di antaranya melalui LoI dengan IMF. Banyak utang yang sesungguhnya menjadi alat penjajahan dialirkan ke Indonesia oleh berbagai lembaga donor baik IMF, Bank Dunia, ADB, Usaid dan sebagainya. Perubahan konstitusi negeri ini pun tak lepas dari peran dan campur tangan asing. Banyak dari UU itu disponsori bahkan draft (rancangan)-nya dibuat oleh pihak asing, di antaranya melalui program utang, bantuan teknis, dan lainnya.

Akibatnya, lahir banyak UU dan kebijakan Pemerintah yang bercorak neoliberal, yang lebih menguntungkan asing dan swasta serta merugikan rakyat banyak. UU bercorak liberal itu hakikatnya melegalkan penjajahan baru (neoimperialisme) atas negeri ini. Karena itu meski sudah 70 tahun “merdeka”, negeri ini masih banyak bergantung pada asing. Bahan pangan baik makanan pokok, garam, gandum, kedelai, susu, dan lain-lain banyak impor. Akibat ketergantungan itu, ditambah permainan para pelaku pasar yang berwatak kapitalis, gejolak harga-harga menjadi fakta keseharian. 

Di sisi lain, juga lahir banyak kebijakan neoliberal yang meminimalkan peran negara dalam mengurus rakyat. Bahkan tanggung jawab negara dialihkan ke pundak rakyat. Tanggung jawab pelayanan kesehatan rakyat, misalnya, dialihkan dari negara ke pundak rakyat melalui asuransi sosial kesehatan (BPJS).

Berbagai sektor juga diliberalisasi. Subsidi BBM dicabut sehingga harganya sering naik. Subsidi listrik juga dicabut sehingga harganya pun dibiarkan naik terus. Ongkos pendidikan mahal. Biaya produksi petani terus naik. Pajak makin bertambah macamnya dan meningkat besarannya. Masih banyak kebijakan neoliberal lainnya. Akibatnya, beban rakyat makin berat. Semua itu hanyalah bukti nyata, kemerdekaan yang dirasakan oleh penduduk negeri ini masih bersifat semu (palsu).
Kemerdekaan Hakiki

Kemerdekaan hakiki adalah saat manusia bebas dari segala bentuk penjajahan, eksploitasi dan penghambaan kepada sesama manusia. Mewujudkan kemerdekaan hakiki itu merupakan misi dari Islam. Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk menghilangkan segala bentuk penjajahan, eksploitasi, penindasan, kezaliman dan penghambaan terhadap manusia oleh manusia lainnya secara umum

Semua itu akan menjadi nyata di tengah kehidupan dan bisa dirasakan oleh masyarakat ketika ajaran tauhid, hukum dan perundang-undangan yang dibawa oleh Islam itu diambil dan diterapkan untuk mengatur semua urusan kehidupan. Tanpa itu maka kemerdekaan hakiki, kelapangan dunia dan keadilan Islam itu tidak akan terwujud. Selama aturan, hukum dan sistem buatan manusia yang bersumber dari akal dan hawa nafsunya terus diterapkan dan dipertahankan maka selama itu pula akan terus terjadi penjajahan, kesempitan dunia dan kezaliman. Allah SWT telah memperingatkan hal itu dalam firman-Nya, QS Thaha [20] ayat 124.

Sumber disarikan dari Al-Islam edisi 767, 29 Syawal 1436 H

No comments:

Post a Comment